Kamis, 18 Oktober 2007

Penat, siapa suruh jadi pemimpin..

Pagi ini, tanggal 18 Oktober 2007, ketika saya sedang menunggu juice tomat yang saya pesan di rumah makan masakan padang, sambil mengobrol dengan orang di sekitar saya, tiba-tiba saya terusik pada topik program televisi yang ada di hadapan saya. Program televisi yang sedang ditayangkan adalah program berita, reportase di salah satu TV swasta negeri ini. TV swasta tersebut melakukan reportase mengenai kunjungan orang nomor satu di negeri ini ke tempat wisata di daerah Jakarta Utara. Biasa memang menurut saya kalau orang ke tempat wisata, melepas penat, kesibukan sehari-hari. Tapi yang mengusik saya adalah yang melakukan wisata bersama keluarga ini adalah orang nomor satu di negeri ini, negeri dengan begitu banyak masalah-masalah kemanusiaan yang hingga sampai detik ini masalah-masalah tersebut tidak tertangani dengan baik.

Sudah hampir 2 tahun masalah lumpur Lapoindo hingga kini belum juga terselesaikan, disusul masalah Jogja, gempa di Bengkulu, hingga yang teranyar kondisi awas gunung Kelud, belum lagi masalah busung lapar, naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Tidak satu pun dari masalah-masalah itu yang terselesaikan dengan baik.

Disaat rakyat menangis, kedinginan, menunggu pembagian makanan (rakyat di penampung) yang tak kunjung datang, tidur di penampungan dengan beralaskan tikar, kedinginan tanpa selimut di malam hari, mencoba menerima kondisi penampungan yang tidak layak huni, sementara orang yang memimpin mereka sedang asik tertawa, menebar senyum di tempat wisata tersebut. “Di mana hati nurani beliau?”, terlalu penatkah beliau hingga sepertinya tak ada hari lain setelah semua masalah yang ada tertangani dengan baik untuk berkunjung ke tempat wisata untuk kalangan menengah ke atas. Kalangan yang tak perlu memikirkan esok hari apakah ada makanan untuk di makan. Apa sebenarnya maksud dari kunjungan beliau ke tempat wisata kalangan menengah ke atas tersebut selain rekreasi. Pada kunjungannya pun beliau tidak mencoba untuk memberikan himbauan walau hanya sekedar mengingatkan kepada para pengujung untuk menyisihkan sebagian hartanya dikarenakan masih banyak teman-teman, sahabat sebangsa dan setanah air yang kurang beruntung. Begitu penatkah beliau hingga ingin melupakan semua masalah-masalah yang ada, masalah-masalah yang sepertinya tidak akan ada penyelesaiaan.

Dan berita selanjutnya juga tidak kalah mengejutkan saya. Orang nomor dua negeri ini malah sibuk menggalang dukungan dengan paket kunjungan safarinya. Melakukan konsolidasi yang tidak akan berdampak apa-apa pada para pengungsi yang tetap saja kelaparan, kedinginan, ketakutan setelah konsolidasi selesai.

Lupakah para pemimpin bangsa Entah Berantah ini akan janji dan sumpah, dengan saksi tidak hanya orang-orang di sekitar mereka juga Tuhan, yang mereka ucapkan setelah penanda tangan kontrak untuk mengabdi dan melayani rakyat yang mereka pimpin, ingat “melayani” bukan dilayani seperti apa yang terjadi saat ini.

Bisa kita bayangkan bersama, apa yang akan dilakukan oleh staf-staf yang membantu mereka kalau atasannya saja yang seharusnya menjadi panutan melakukan hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh orang-orang sekelas mereka. Entah mau mereka bawa kemana arah pembangunan di negeri ini.

Semoga ini menjadi renungan kita bersama, dan semoga akan menambah kecintaan kita terhadap sesama manusia.

Minggu, 07 Oktober 2007

So Speak Up..

Sebagai seorang yang bisa dikatakan biasa-biasa saja, bukan selebritis, saya terkejut begitu mendapatkan kesempatan untuk mencoba potong rambut di salon ternama di kota. Salon tempat para selebritis memperbaharui penampilan mereka. Begitu besar harapan saya untuk bisa ke salon tersebut karena tidak sembarang orang yang bisa masuk ke salon ternama tersebut.

Begitu hari itu tiba, begitu berdebar jantung mengayunkan langkah ke dalam salon yang notabene hanya para selebritis yang bisa masuk. Begitu gembira dan haru membuat saya tidak bisa berkata-kata ketika duduk di bangku tempat rambut saya dipotong. Dan yang lebih parah lagi begitu si penata rambut datang dan menghampiri saya, saya menjadi lebih gugup lagi dan tak tahu harus berkata apa. Si penata rambut langsung saja mengeluarkan jurus-jurus untuk menata rambutku. Begitu senang dan gembiranya bisa mendapatkan perawatan rambut dari salon ternama, sehingga mulut ini terkunci.

Selama berlangsungnya proses penataan dan pemotongan rambut, saya hanya terdiam. Begitu selesai, betapa terkejutnya saya akan hasil yang saya dapat. Saya dapatkan model rambut yang tidak sesuai dengan kemauan saya. Model tatanan rambut yang terkini ternyata tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan.

Semua terjadi karena salah saya sendiri, saya yang hanya diam ketika si penata rambut mengacak-acak rambut saya. Walaupun salon tempat saya menata dan memotong rambut adalah salon yang ternama, tapi semua belum tentu bisa memuaskan saya.

Kesalahan yang fatal adalah saya hanya berdiam diri sementara sesuatu yang tidak saya inginkan terjadi terhadap diri saya. Jadi, mulai saat ini bicaralah. Bicara agar orang lain tahu apa yang kita inginkan.